Halaman

SELAMAT DATANG DI DUNIA NEW OKSIRAMA

Rabu, 30 Oktober 2013

Tidak Ada Kelas di Dalam Musik

Tidak Ada Kelas di Dalam Musik, Bahkan untuk Musik Cadas dan Jazz




Saat ini saya sedang menikmati gebukan drumm yang hebat dan cepat Burgerkill, Resah Dera Jiwa.
Memang saat kita menyukai musik dan apalagi jika itu menjadi yang terfavorit tiada lagi kata yang pas selain gwe banget, yang lain lewat. Musik memang bisa menyentuh kesadaran emosional seseorang, jadi saat ia menyukainya, kadang tidak ada lagi musik yang dianggap bagus atau berkelas selain musik yang ia sukai, termasuk penyanyinya.
Dua kali saya melihat Tompi membawakan lagunya dengan pertunjukan khas Jazz. Saat saya melihat dia dan bandnya menunjukan skil-nya masing-masing, saya sampai melupakan musik yang lain, seolah-olah saat itu, hanya Tompi musisi yang hebat. Gila, saya benar-benar dibuat tenggelam dengan nyanyian dan permainan musiknya. Saya termasuk penyuka permainan bass. Tompi bisa memberikan itu saat ia jadi bintang tamu X Factor Indonesia dan Indonesia Mencari Bakat. Yah, mungkin setiap orang tidak jauh beda, kalau sedang tenggelam dengan indah dan nikmatnya alunan musik, tidak heran membela apa yang disukainya saat ada yang mengkritiknya, apalagi merendahkannya.
Makanya tidak heran sering terjadi WAR sesama penggemar musik dari hal membela lagu sampai penyanyinya, dan tidak jarang menyerang genrenya. Salah satu musik yang paling dominan direndahkan adalah dangdut, dan yang paling sering direndahkan adalah qasidah Islam. setidaknya itu yang sering saya dapati dalam berbagai pertentangan penggemar musik.
Ada yang menganggap musik disebut berkelas karena dianggap kerumitan dalam memainkan alat musiknya, seperti katanya musik cadas, metal, memainkan alat musiknya sangat sulit. Karena disamping harus mempunyai skill kreatifitas dalam memngharmoniskan nada, juga harus mempunyai speed dalam memainkannya. Atau ada lagi musik Jazz, yang sudah banyak diakui bahwa itu musik gedongan, musiknya orang-orang berduit, karena nada-nada yang dimainkannya meski kadang tidak secepat permainan musik cadas, tapi nada-nada yang dimainkannya rumit.
Entahlah, pendapat itu semua saya dapati hanya dari penggemar musik, yang sangat rasional mereka membela dan membesarkan apa yang digemarinya masing-masing.
Bagi saya, tidak ada kelas dalam musik, apalagi musik hubungannya dengan selera, jadi seseorang mempunyai banyak alasan untuk menyukai musik. Keindahan atau “kekuatan keajaiban musik”, menurut saya itu tidak terletak pada rumitnya nada-nada yang dimainkan, tidak juga terletak pada cepatnya memainkan alat-alat musik, atau pada komplitnya instrumen musik, apalagi pada cantik dan gantengnya penyanyi.
Banyak sekali musik dan lagu yang dianggap bagus, padahal alat musik dan nada yang dimainkannya sederhana. Misalnya Imagine lagunya Jhon Lennon dan You’re Beatifful lagunya James Blunt, menurut saya cara mereka bernyanyi dan permainan alat musiknya sangat “sederhana”, tapi lagu itu sangat fenomenal, banyak disukai banyak orang, dan tidak tenggelam dengan berjalannya waktu. (Sederhana di sini bukan berarti datar ya)
Daya jual musik memang ada yang bersifat lokal dan international, para musisi Indonesia jarang yang lagu-lagunya bisa mendobrak industri International, tapi itu belum tentu musik dan selera musik orang Indonesia rendah. Beberapa penyanyi memang sudah ada yang nangkring di panggung international, misalnya Anggun C Sasmi, dan juga Agnes Monica yang sudah mulai mengenalkan lagu-lagunya pada masyarakat international, untuk di Asia nama Agnes cukup terkenal. Itu pun, menurut saya, masih terlalu berlebihan jika mereka musiknya dikatakan lebih berkelas, dalam artian musisi selain dia tidak lebih baik. Tidak seperti itu kiranya, menurut saya.
Mungkin benar, jika melihat kerja keras dan usaha yang mereka lakukan untuk mengenalkan lagu-lagunya ke masyarakat dunia, tentu bisa dikatakan hebat, sangat hebat, (kerja keras selalu membuat orang hebat meski mungkin tidak berhasil). Tapi bagi mereka musisi yang masih duduk manis dan menikmati suana lokal, tentu itupun harus diapresiasi, dihargai. Selama para musisi menciptakan lagu dengan kreatifitasnya sendiri, tetap musisi yang hebat, bukan? Kecuali dia menjiplak karya orang lain, baru kita harus merasa malu, tidak ada kreatifitas dan skill di situ, bahkan tidak ada “diri sendiri”.
Untuk musik dangdut pun saya masih menikmatinya, seruling, tam-tam, itu biasanya hanya ditemui di dalam musik dangdut, dan jika saya ingin menikmati permainan alat musik itu, saya masih sering mendengarkan lagu-lagu dangdut lawas. Seperti Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Rita Sugiarto, dan lain sebagainya. Intinya bukan soal tam-tam dan seruling, dangdut masih tetap musik yang bagus menurut saya. Bahkan lagu-lagu Qasidah, seperti lagu Bencana Aids - Almanar, lagu Matahari Dunia – Nasida Ria – Jilbab Putih - Nada Ria, dll. Saya kalau mendapati orang tua memutar lagu-lagu qasidah itu, masih sering ikut menikmati. Tapi saat tulisan ini ditulis, saya sedang menikmati lagu System of A Down, Lonely day.
Yah, akhirnya kembali pada selera musik masing-masing, dan setiap yang menggemari musik dan lagu tertentu, akhirnya memang pantas membela apa yang disukainya dengan kata, “ini lagu yang bagus, berkelas nih :P”.
Ada satu musik indonesia yang kadang saat memikirkannya, saya merasa miris. Ialah dangdut, kenapa India bisa mengenalkan dan menjual lagu-lagunya pada dunia, dan Indonesia tidak mampu meng-internationalkan dangdutnya? Semua tentang selera? Atau Indonesia yang tidak bisa menjaga dan mengenalkan musik khas melayunya?… Entahlah!
Dan akhirnya, semua musik juga pantas dikritik, musik adalah demokrasi, dan kritik adalah bagian aspirasinya. :P

Tidak ada komentar:

Pencarian